Dua Usulan Mantan Ketua MK Jimly Ash-Shiddiqie untuk Indonesia
JAKARTA – Tuntutan untuk merekonstruksi ulang sistem tata negara di Indonesia dianggap penting oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan Ahli Hukum Tata Negara, Jimly As-Shiddiqie.
Dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rabu (16/3) Jimly menyebut bahwa gejala kemunduran demokrasi adalah gejala umum yang sedang terjadi di dunia, karenanya diperlukan refleksi oleh seluruh pilar negara untuk melakukan evaluasi.
Bagi Indonesia sendiri, gejala regresi ini kata dia dapat ditengarai pada beberapa hal. Yang utama adalah dari banyaknya wacana dan kebijakan publik yang sarat konflik kepentingan politik dengan pemangku atau pembuat kebijakan. Jika tidak segera ditangani dengan leadership yang tepat sasaran, maka gejala ini kata Jimly akan berpuncak pada lahirnya totalitarianisme, yaitu bentuk pemerintahan yang memonopoli nilai, ruang publik, politik, dan ekonomi dari alternatif tandingan (oposisi).
“Jadi yang akan menentukan nanti adalah yang punya uang dan punya partai, di luar itu akal sehat akan tersingkir. Padahal kemajuan bangsa itu dalam jangka panjang membutuhkan the logic and the moral power. Oleh karena itu kita perlu memperkuat kedudukan dan peran nilai. Peran dari akal sehat, akal tulus, bukan akal fulus dan akal bulus,” singgungnya.
Untuk merekonstruksi agar sistem tata negara Indonesia terhindar dari arus totalitarian, Jimly mengusulkan agar dilakukan dua konsep pembagian kekuasaan, yakni inner structure power (struktur di dalam kekuasaan) dan outer structure power (struktur di luar kekuasaan). Masing-masing dari dua hal itu memiliki empat pembagian unsur politik yang masing-masing unsur dicegah agar terhindar dari konflik kepentingan.
Pada konsep inner structure power lama, empat unsur itu adalah lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan media massa. Sedangkan sekarang adalah state (negara), civil society (masyarakat madani), market (pasar), dan media massa. Sebagai contoh, seorang pengusaha industri media nasional tidak selayaknya menjadi pemilik atau tokoh pimpinan partai politik. Karena dengan keutamaan yang dia miliki, dia berpeluang besar menggunakan media untuk menggiring suara dari civil society.
“Maka bisa terjadi suatu hari nanti seorang presiden menguasai politik kenegaraan, tapi juga menguasai dunia korporasi, menguasai media dan civil society sekaligus. In the one hand. Nah inilah bentuk totalitarianisme baru yang sangat berbahaya bagi demokrasi di masa depan. There will be no more democracy kalau ini terjadi,” terang Jimly.
Sedangkan pada konsep outer structure power, dia menyebut empat unsur yang dilarang berkonflik kepentingan adalah lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan cabang campuran seperti KPU, KPPU, dan lembaga lain yang semisalnya.
“Dia harus ditempatkan dan tidak boleh tunduk pada pejabat politik atau calon peserta pemilu, dan dia harus berurusan dengan pengadilan yang mengadili proses dan hasil pemilu,” jelasnya.
“Maka the new form of quadro politika itu harus diatur supaya jangan ada konflik kepentingan. Kalau tidak, catat ini. Pada suatu hari akan muncul the new form of absolute totalitarianism,” ramal Jimly.
“Di jaman Hitler penguasa publik ngangkangi semua kepentingan privat. Tapi di jaman sekarang yang terjadi adalah inverted totaliarianisme. Penguasa kepentingan privat menangani kebijakan publik,” pungkasnya. (afn)