Hukum Mengalihfungsikan Masjid dari Wakaf
Wakaf merupakan pemberian dari seseorang atau lembaga tertentu (al-waqif) kepada pihak lain (al-mauquf ‘alaih) dengan maksud dan tujuan tertentu. Jika hal ini dilakukan, maka telah terjadi proses perubahan kepemilikan (taghayyur al-milkiyah) dari pihak pemberi wakaf (al-wakif) kepada pihak penerima wakaf (al-mauquf ‘alaih), sehingga pihak penerima memiliki hak untuk menggunakan benda (al-mauqûf bih) sesuai dengan tujuan dan kesepakatan pada saat akad.
Pada prinsipnya, jika benda yang diwakafkan tersebut telah ditentukan bentuk pemanfaatannya oleh pihak pemberi wakaf (al-waqif) kepada pihak penerima wakaf (al-mauquf ‘alaih), maka pihak penerima harus konsisten memegang amanah sesuai dengan kesepakatan awal terjadinya proses wakaf tersebut. Oleh sebab itu, tujuan wakaf harus dijelaskan pada saat berlangsungnya proses penyerahan benda wakaf.
Namun demikian, Fatwa Tarjih yang terbit tahun 2011 menerangkan bahwa dalam keadaan tertentu benda wakaf dapat saja dialihfungsikan atau bahkan dijual untuk diganti dengan wujud atau lokasi lain karena alasan-alasan yang sangat obyektif dan rasional. Misalnya; wakaf tanah atau masjid di daerah yang sangat rawan dengan longsor atau bencana alam. Lalu dijual untuk dibelikan lokasi lain yang lebih aman dan strategis sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal seperti ini dibenarkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih maksimal. Namun jika masih ada alternatif yang lebih baik, maka tentu alternatif itulah yang harus ditempuh.
Apakah pahala orang yang menghibahkan tetap mengalir (amal jariyah) sekalipun masjid telah dialihfungsikan? Persoalan pahala tentunya yang paling mengetahui hanya Allah swt., sebab suatu amalan sangat ditentukan oleh niat dan keikhlasan seseorang. Namun jika seseorang telah berniat dengan ikhlas untuk melakukan suatu kebaikan, terlebih lagi untuk kemaslahatan orang banyak, bahkan keteladanan yang dilakukannya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan kebaikan, maka tentu amal kebaikan yang dicontohkannya tersebut menjadi amal jariyah buat pelakunya, begitu pula sebaliknya.
Telah menginformasikan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimy, bahwasanya ia telah mendengar Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; saya telah mendengar Umar bin al-Khattab berkata di atas mimbar; saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang diniatkannya, maka barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia harapkan itu.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Bahkan jika niat baik dan keikhlasan seseorang untuk menghibahkan atau mewakafkan sesuatu untuk tujuan yang baik (fi sabilillah), lalu dikhianati dan digunakan untuk hal-hal yang negatif (tidak sesuai dengan niat baik orang yang menghibahkan, mereka (orang yang menghibahkan/mewakafkan) tetap akan mendapatkan pahala dari amal shalehnya itu, sementara orang yang menyalahgunakan amanah tersebut akan menanggung sendiri dosanya. Terlebih lagi jika amanah tersebut digunakan untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan syari’at agama, maka pemberi hibah/wakaf termasuk pihak yang dikhianati dan dizhalimi. Dengan demikian, orang yang mengkhianati tersebut termasuk orang merugi (muflis) yang harus membalas kejahatan/kezalimannya dengan pahalanya sesuai dengan kadar dan tingkat kezalimannya.
Rasulullah saw bersabda: “Seorang muslim merupakan saudara (bagi) muslim lainnya, janganlah ia menzaliminya, dan tidak membiarkannya (mengabaikannya), dan barangsiapa yang (memenuhi) kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barangsiapa yang mempermudah urusan seorang muslim, maka Allah akan mempermudah suatu urusan dari urusan-urusannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) saudaranya, maka Allah akan menutup (aib) nya pada hari kiamat.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya].
Dengan demikian, mengalihfungsikan masjid untuk keperluan seperti balai pengobatan/klinik, Taman Pendidikan Al-Qur’an, kantor, maupun perpustakaan Islam, tidak akan memutuskan amal jariyah orang yang menghibahkan. Apalagi hal tersebut masih dalam wilayah yang ma’ruf (kebaikan) dan bagian dari fungsi masjid secara lebih luas. Namun sebelum melakukan hal tersebut, perlu dipertimbangkan hal-hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Agar seseorang dapat menjaga amanah dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak mengurangi nilai kebaikan yang telah diberikan oleh orang lain serta tidak menzhaliminya.