Meyakini Kepastian Sebab Akibat Bagian dari Syirik?
Dalam al-Qur’an, kata “syirik” dengan berbagai variannyanya memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Dalam QS. An-Nisa’: 12, syirik berarti persekutuan dalam pemilikan harta, dalam QS. Az Zukhruf: 39, bermakna persekutuan dalam merasakan adzab di akhirat, dan dalam QS. Ali ‘Imran: 36, didefinisikan sebagai persekutuan dalam kekuasaan antara Allah dengan makhluk lain-Nya.
Menurut ar-Raghib al-Asfahaniy, syirik terbagi menjadi dua: 1) syirik besar, yaitu meyakini adanya Tuhan selain Allah atau menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya; 2) syirik kecil, yaitu menyekutukan Allah dalam tujuan beribadah atau beramal kebaikan yang tujuannya untuk memperoleh pujian dari orang lain, padahal tujuan beribadah dan beramal kebaikan itu seharusnya hanya untuk mencari keridlaan Allah SWT. Kedua macam syirik ini hukumnya haram, dan Allah SWT tidak akan mengampuninya kecuali dengan bertaubat sebelum meninggal (QS. an-Nisa’: 48).
Adapun bentuk syirik, tidak terhitung banyaknya; misalnya meyakini kekuasaan atau kekuatan ilahiyah (ketuhanan) pada benda-benda yang dianggap keramat seperti pohon beringin, keris, akik, akar bahar, binatang, kuburan, batu, patung dan sebagainya. Mengucapkan perkataan “seandainya” apabila mengesampingkan takdir (kepastian) Allah, juga termasuk bentuk syirik.
Misalnya seseorang berkata: ‘Seandainya ia tidak naik pesawat, niscaya ia selamat’, karena berkeyakinan bahwa penyebab tewasnya adalah naik pesawat yang mengalami kecelakaan. Padahal tewasnya karena sudah ditakdirkan Allah SWT. Tidak naik pesawat pun, jika sudah ditakdirkan Allah, pasti akan mati juga.
Dalam Fatwa Tarjih disebutkan bahwa memberikan penjelasan dengan disertai uraian tentang sebab akibat adalah sah-sah saja, karena Islam juga mengakui adanya hukum kausalitas ini. Namun harus disertai pula dengan penjelasan bahwa semua itu karena takdir Allah. Mengembalikan peristiwa kepada sebab akibat saja, tanpa dengan meyakini takdir Allah adalah adat kebiasaan orang-orang munafik. Dalam suatu hadits ditegaskan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Usahalah dengan keras untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah semangat. Dan apabila kamu tertimpa musibah janganlah berkata: ‘seandainya saya melakukan ini dan itu, niscaya menjadi begini dan begitu,’ melainkan katakanlah: ‘Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia kerjakan. Sebab sesungguhnya perkataan ‘law’ (seandainya) itu membuka perbuatan syaitan.’” (Ditakhrijkan oleh Muslim).
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa terbunuhnya adalah karena takdir Allah SWT, sedangkan hadis Nabi saw melarang mengatakan ‘law’ (seandainya), yang maksudnya hanya memikirkan sebab akibat saja, dan memberi perintah wajib menyerahkan semuanya kepada Allah SWT, karena sebab dan akibatnya Allah jualah yang menghendaki dan menciptakannya. Lain halnya jika perkataan ‘law’ tersebut merupakan ungkapan penyesalan sebagai bagian dari usaha untuk introspeksi atau mengambil hikmah dari suatu peristiwa dan tidak mengingkari takdir Allah, maka hal itu diperbolehkan.
Sungguhpun demikian, manusia dituntunkan untuk menggapai takdir yang baik dari Allah dengan melakukan usaha atau ikhtiar. Bahkan manusia wajib berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru kemudian menyerahkan segala-galanya (bertawakkal) kepada Allah SWT tentang takdir-Nya. Tidak dibenarkan seseorang pasrah begitu saja tanpa melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali, hanya menunggu takdir Allah datang.
Sebagai contoh, misalnya seseorang yang dalam keadaan mengantuk berat, sebagai bentuk ikhtiar hendaknya ia tidak mengemudikan mobil sebelum beristirahat secukupnya. Bagaimanapun juga mengemudi dalam keadaan mengantuk sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kecelakaan. Setelah dirasa cukup istirahat dan tidak lagi mengantuk, barulah ia dapat mengemudikan mobil secara lebih baik dan bertawakkal pada Allah dengan berdoa atau setidaknya membaca basmalah. Apabila ternyata tetap terjadi kecelakaan dan ia meninggal dunia, maka itulah takdir Allah. Di sini, yang perlu dipahami adalah orang tersebut sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.
Allah SWT berfirman: “… kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran, 3: 159]
Contoh lain, ketika seseorang menderita sakit, maka hendaknya ia berikhtiar dengan berobat. Setelah sembuh, apabila ia mengucapkan ‘saya sembuh karena berobat’, asalkan dengan keyakinan bahwa berobat tersebut adalah bagian dari ikhtiar dan kesembuhannya adalah takdir Allah, maka hal itu bukan termasuk syirik dan tidak ada masalah. Apabila ternyata ia tidak sembuh bahkan kemudian meninggal dunia, sama dengan contoh sebelumnya, bahwa orang itu sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.
Dengan demikian, Islam membolehkan penjelasan sebab dan akibat, dengan wajib meyakini bahwa semuanya adalah takdir Allah SWT. Takdir adalah wilayah kekuasaan Allah, manusia tidak akan pernah mengetahui sebelumnya. Manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan ikhtiar atau usaha yang maksimal dan tawakkal atau menyerahkan hasilnya (takdirnya) kepada Allah SWT.