Prof. Siti Baroroh Baried, Anggota PP Muhammadiyah
Muktamar ke-36 tahun 1965 di Bandung menjadi babak baru sistem kepemimpinan di struktur pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Kepemimpinan di PP Muhammadiyah tidak lagi diisi sepenuhnya oleh laki-laki, karena pada saat itu, Siti Baroroh Baried dan Siti Aisyah Hilal masuk dalam jajaran PP Muhammadiyah.
Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam penelitiannya yang terbit menjadi buku pada tahun 2015 berjudul Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi menyebut bahwa, keterlibatan perempuan di jajaran pengurus Muhammadiyah mengalami tarik ulur.
Pada Muktamar ke-36 tahun 1965 Muhammadiyah mengakomodir keterlibatan perempuan dalam kepengurusan PP. Akomodir keterlibatan perempuan dalam kepengurusan di PP Muhammadiyah kembali diperkuat melalui Keputusan Tanwir di Denpasar tahun 2002, diusulkan agar ketua ‘Aisyiyah secara ex officio atau salah satu anggota PP ‘Aisyiyah menjadi anggota ketua PP Muhammadiyah.
Akan tetapi terjadi perubahan mengenai keikutsertaan perempuan dalam kepemimpinan di anggota PP Muhammadiyah, karena pada Muktamar ke-45 keikutsertaan perempuan sebagai anggota PP Muhammadiyah dibatalkan oleh forum muktamar. Akan tetapi pada Muktamar ke-46 kejadian itu tidak berulang, karena ada Siti Noordjannah Djohantini yang duduk sebagai anggota PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
erlepas dari itu, peran perempuan di Muhammadiyah tidak bisa dipandang sebelah mata oleh kalangan eksternal maupun internal. Kiprah mereka bukan hanya diperuntukkan bagi kalangan Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah semata. Sebut saja kiprah Ketua Umum PP ‘Aisyiyah periode 1965-1985, Siti Baroroh Baried.
Siapa Siti Baroroh Baried?
Siti Baroroh Baried mencatatkan namanya sebagai Guru Besar perempuan pertama di Indonesia. Memimpin ‘Aisyiyah selama 20 tahun bukan halangan baginya untuk mengukir prestasi di karir akademiknya. Ia tercatat sebagai Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 27 Oktober 1964, saat berusia 39 tahun, usia yang relatif muda bagi Guru Besar.
Siti Baroroh Baried lahir di Yogyakarta pada 23 Mei 1923 dari pasangan Tamim bin Dja’far dan Siti Asmah binti Muchammad. Berdasarkan garis keturunan, Siti Baroroh Baried masih kerabat dari Siti Walidah dari jalur ayahnya. Sebab Dja’far merupakan cucu dari Kiai Fadhil yang merupakan ayah Siti Walidah pendiri ‘Aisyiyah. Artinya Dja’far adalah kemenakan dari Siti Walidah.
Sejak kecil Siti Baroroh dididik di keluarga yang kental dengan Islam, gaya pendidikan tersebut kemudian membangun jati diri Siti Baroroh menjadi seorang muslim taat, dan konsisten dengan apa yang digelutinya. Uswatun Chasanah dalam majalah Suara ‘Aisyiyah No. 7 Tahun 1999 menulis, Siti Baroroh dikalangan akademisi dikenal sebagai sosok yang baik dan ulet dalam bidang akademik.
Dalam kesehariannya Siti Baroroh juga dikenal sebagai perempuan Islam – Jawa yang berpenampilan sederhana, rajin, dan sangat menghormati kedua orang tuanya. Meski dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan berpandangan maju, Siti Baroroh tidak berlepas diri dari jati diri muslimah berkemajuan. Ia menikah dengan dr. Baried Ishom seorang dokter spesialis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Terkait relasi suami – istri antara Siti Baroroh Baried dengan dr. Ishom Baried dapat ditemukan dari hasil wawancara kepada Siti Hadiroh, Sekretaris PP ‘Aisyiyah III 1995-2000, Ketua 2000-2010 dan 2010-2015 yang dilakukan Fairuz Salma Rafifah untuk tugas skripsinya di Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Salatiga tahun 2020.
Disebutkan bahwa Pasangan suami-istri tersebut memiliki perbedaan usia yang cukup jauh dimana Ishom Baried lebih muda 8 tahun dari Baroroh. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa hormat juga kepatuhan Baroroh kepada sang suami. Meski dengan segudang prestasi, namun Siti Baroroh tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik.
Hubungan laki-laki dengan perempuan bukan dilihat secara struktural melainkan fungsional. Meski demikian, Siti Baroroh tidak menyetujui emansipasi berlebihan yang bertentangan dengan norma agama dan budaya. Kaitannya dengan itu, Ia menyebut perempuan memiliki 3 dunia yaitu dunia keluarga, dunia karir, dan dunia masyarakat.
Internasionalisasi ‘Aisyiyah
Sejak muda Siti Baroroh Baried memiliki semboyan “Hidup Saya Harus Menuntut Ilmu”, semboyan ini disampaikan langsung kepada orang tuanya. Semboyan ini benar-benar dilaksanakan dalam hidupnya, dirinya tidak bisa jauh dari dunia akademik, sampai menghantarkan dirinya menjadi Guru Besar perempuan pertama di Indonesia.
Dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi yang diterbitkan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah tahun 2014 disebutkan, Siti Baroroh memulai pendidikan di SD Muhammadiyah, kemudian secara berturut-turut dirinya melanjutkan di MULO HIK Muhammadiyah, Fakultas Sastra UGM (Sarjana Muda), Fakultas Sastra UI di Jakarta, hingga belajar mendalami Bahasa Arab di Kairo, Mesir tahun 1953-1955.
Kemampuan serta keilmuannya ini membawa pengaruh besar pada ‘Aisyiyah, jaringan internasional yang dimiliki dimanfaatkan untuk menggungkan nama ‘Aisyiyah di kancah internasional melalui jalinan relasi dengan badan internasional seperti UNICEF, UNESCO, WHO, The Asia Foundation, World Conference of Religion and Peace, UNFPA, UNDP, World Bank, dan masih banyak lainnya.
Disebutkan dalam buku Percik Pemikiran Tokoh Muhammadiyah untuk Kemajuan Bangsa yang diterbitkan MPI PP Muhammadiyah tahun 2018. Siti Baroroh sebelum menjabat sebagai Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, ia memulai jenjang di PP ‘Aisyiyah sebagai Ketua Biro Hublu PP ‘Aisyiyah yang memungkinkannya untuk mensinergikan jaringan dan kemampuan akademiknya dengan program internasionalisasi ‘Aisyiyah. Selain di kawasan Timur Tengah karena dia sebagai lulusan Mesir, Siti Baroroh juga membawa nama ‘Aisyiyah di Negara-Negara Barat.
Siti Baroroh ke Harvard
Misalnya acara seminar di Harvard University, Amerika Serikat, Siti Baroroh menyampaikan presentasi berjudul Aisyiyah and The Social Change Women of The Indonesian. Hal ini membawa dampak ke ‘Aisyiyah, melalui seminar dan jaringan relasi internasional yang dimilikinya menjadikan ‘Aisyiyah dan gerakannya mulai dikenal di dunia internasional.
Lawatannya ke luar negeri berbuah manis, pasalnya mulai tahun 1972 Organisasi ‘Aisyiyah bukan hanya bermitra dengan pemerintah dan organisasi-organisasi lain dalam negeri. Pada tahun tersebut ‘Aisyiyah sudah menjalin kerjasama dengan OEF (Overseas Education Fund), dalam program pelatihan peningkatan kapasitas kader.
Selain itu, di tahun yang sama ‘Aisyiyah juga menjalin kerjasama dengan The Pathfinder Fund di bidang pembangunan ekonomi. Kerjasama dengan OEF membuka pintu-pintu jaringan kerjasama lain dengan organisasi internasional, sebab setelah kerjasama dengan OEF berakhir, ‘Aisyiyah kemudian menjalin kerjasama dengan The Asia Foundation di tahun 1980-an.
Jejak internasionalisasi Organisasi ‘Aisyiyah sampai sekarang masih ada dan bahkan terus berkembang. Bukan hanya dalam lokus peningkatan kapasitas kader, bahkan ‘Aisyiyah juga dipercaya oleh KBRI Phnom Penh untuk membantu meningkatkan kapasitas muslim di Kamboja. Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah di Kairo – Mesir, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Australia, dan Sudan.