Tidak Semua Urusan harus Dibuat Komisi dan Lembaga Tambahan
JAKARTA—Pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur kelembagaan negara. Salah satu perubahannya ialah tumbuh suburnya lembaga-lembaga negara yang independen baik dengan dasar hukum konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang hanya dibentuk dengan keputusan presiden.
“Amandemen memunculkan banyak nama lembaga baik yang disebutkan eksplisit seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, hingga walikota, dan lain-lain. Sedangkan lembaga yang tidak disebutkan nomenklaturnya secara eksplisit adalah Bank Sentral, KPU, dan lain-lain,” ujar Endang Sulastri dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah pada Rabu (16/03).
Endang Sulastri menuturkan bahwa penambahan lembaga negara biasanya terbentuk berdasarkan isu parsial, insidental, dan respon khusus terhadap suatu persoalan. Misalnya, ide pembentukan KPK pada tahun 2002 yang dasar hukumnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN merupakan respon negara terhadap kejaksaan dan kepolisian yang belum bisa diandalkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
“Kemunculan lembaga negara tambahan negara ini biasanya karena lembaga formal tidak mampu menyelesaikan suatu persoalan. Misalnya ketika KPK muncul karena orang tidak lagi percaya pada lembaga kepolisian,” tutur Endang Sulastri.
Selain KPK, contoh lain lembaga negara tambahan seperti KPU, Bawaslu, Komnas HAM, KPAI dan lain-lain. Namun titik persoalannya ialah apakah lembaga-lembaga negara tambahan ini telah efektif menyelesaikan ragam masalah-masalah spesifik sesuai dengan tupoksinya? Dalam beberapa kasus, lembaga-lembaga ini malah memunculkan masalah baru seperti kasus cicak vs buaya. Karenanya, dalam menata ulang lembaga negara tambahan di Indonesia perlu kiranya kembali kepada UUD 1945.
“Tujuan negara kita dalam Pembukaan UUD 1945 adalah menjadi negara bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Karenanya lembaga-lembaga negara tambahan tidak boleh lepas dari konstitusi, termasuk soal fungsi dan kedudukannya,” kata Endang Sulastri.
Mengembalikan prinsip lembaga negara tambahan pada konstitusi agar menciptakan tatanan yang lebih ramping dan efisien sehingga tidak mengeluarkan banyak anggaran.
Dalam penyelenggaraan pesta demokrasi berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, misalnya, menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan ‘suatu komisi pemilihan umum’. Dari dasar ini melahirkan tiga lembaga negara tambahan yang mengurus Pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Padahal, agar lebih efisien, lebih baik semua unsur-unsur Pemilu cukup diserahkan pada KPU. “Kita tidak efisien di dalam membentuk lembaga negara tambahan. Karenanya, saya lebih cenderung, kita kembalikan lembaga penyelenggara Pemilu itu ya KPU saja. Bawaslu itu cukup diserahkan pada masyarakat. DKPP juga demikian. Segala urusan tidak perlu dibuat lembaganya,” tutur Endang Sulastri.
Banyaknya lembaga negara tambahan yang sebetulnya tidak terlalu efektif dan efisien, Endang Sulastri mengusulkan agar para penyelenggara negara melakukan kajian ulang secara komprehensif.
Agar tupoksinya jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih lintas lembaga, pengaturan lembaga negara tambahan minimal ada dalam undang-undang yang bersumber pada konstitusi. Selain itu, kata Sulastri, tidak semua urusan harus dibentuk lembaganya oleh pemerintah. Biarkan masyarakat diberi ruang untuk berpartisipasi nyata dalam melakukan sosialisasi, advokasi, dan pengawasan.
Sebab ada urusan yang bisa diselesaikan masyarakat tanpa melibatkan pemerintah. Misalnya lembaga sipil yang telah lama berpartisipasi dalam banyak hal di Indonesia seperti ICW, PMI, Muhammadiyah, dan lain-lain. Tugas pemerintah hanya memberikan fasilitas, menyerap aspirasi, dan tindak lanjut kebijakan.